Artikel ini masih berkaitan dengan tragedi pembantaian keluarga kerajaan Nepal
Radio dan siaran televisi Nepal mengabarkan sebuah berita duka ke seluruh penjuru negeri pada tanggal 1 Juni 2001. Raja Birendra, Ratu Aishwarya serta beberapa anggota keluarga kerajaan Nepal dikabarkan telah menjadi korban dari sebuah insiden kecelakaan yang disebabkan oleh senjata submesin otomatis. Diberitakan bahwa beberapa korban— termasuk raja dan ratu, segera dilarikan ke rumah sakit. Namun ternyata mereka sudah ada di dalam keadaan tidak bernyawa sebelum tiba di rumah sakit. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai rincian kejadian tersebut, namun berita itu sangat membuat rakyat Nepal gempar dirundung duka yang amat mendalam, lantaran mereka telah kehilangan sosok raja yang mereka cintai di tengah keadaan negara yang sedang digempur oleh berbagai masalah.
Bagai ayam kehilangan induknya, demikian persisnya yang dirasakan oleh sekitar 20 juta penduduk Nepal pada saat itu. Sosok raja adalah titisan Dewa Wisnu bagi rakyat Nepal. Selain itu Raja Birendra juga merupakan sosok seorang ayah bagi mereka. Maka tidak heran jika mereka amat berduka atas tragedi itu. Ribuan rakyat Nepal turut mengantarkan kepergian raja dan anggota keluarganya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Beberapa di antara mereka rela berjejal dan berdesak-desakkan demi melihat sosok sang raja untuk yang terakhir kalinya. Ketika jenazah sang raja dibaringkan di atas susunan kayu cendana yang berhiaskan rangkaian bunga melati dan marigold mulai dibakar dengan api suci, beberapa pelayat menangis dan mengekspresikan rasa duka yang mereka rasakan. Sang raja yang arif telah pergi. Salah satu raja terbaik yang dimiliki Nepal telah berpulang ke Penciptanya. Namun rakyat Nepal pada saat itu menunggu pulihnya sang pewaris, Pangeran Dipendra, yang dikabarkan selamat dari tragedi tersebut, yang hidupnya disokong oleh peralatan medis dalam keadaan kritis.
Keesokan hari setelah tragedi naas itu terjadi, wakil Perdana Menteri Ram Chandra Poudel mengatakan bahwa sang putra mahkota, Dipendra, merupakan satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut karena cintanya pada seorang gadis tidak direstui oleh ibunya (baca juga :"Tragedi Asmara Putra Mahkota Nepal"). Namun pada saat itu rakyat Nepal tidak lantas percaya pada apa yang disampaikan oleh Poudel.
"Tidak ada seorangpun yang mampu membunuh orangtuanya," ujar salah satu pelayat yang menyaksikan proses kremasi Raja Birendra pada saat itu. Ia mewakili orang-orang yang tidak mempercayai bahwa Dipendra tega melakukan hal sekeji itu.
Setelah sang raja tiada, Pangeran Dipendra diangkat menjadi raja Nepal di dalam keadaan koma. Sang paman, Gyanendra, yang kala itu mengambil alih pemerintahan secara de facto karena kondisi Dipendra yang tidak memungkinkan untuk memegang pemerintahan. Gyanendra muncul ke depan publik dan mengabarkan bahwa insiden tersebut murni kecelakaan dan bukan suatu upaya pembunuhan.
4 Juni 2001, tiga hari pasca tragedi tersebut, Pangeran Dipendra yang belum kunjung siuman segera diperiksa oleh seorang dokter. Dokter itu menyatakan bahwa Dipendra telah tiada. Tanpa dilakukan proses otopsi, jasad Dipendra segera dikremasi di tepi sungai suci Bhagmati dengan diiringi upacara protokol kerajaan. Ia meninggal sebagai seorang raja dengan masa waktu pemerintahan tiga hari saja tanpa pernah duduk di atas takhta raja. Raja Gyanendra akhirnya menggantikan keponakannya sebagai raja Nepal yang ke-12 Gyanendra menunjuk dua orang dari pemerintahan untuk menyelidiki kasus itu. Hasil penyelidikan menyatakan bahwa memang Dipendralah yang telah menembak para anggota keluarga kerajaan dan berupaya menghilangkan nyawanya sendiri setelah melakukan itu semua (baca kronologi resminya di sini). Tim penyelidik tidak mengungkapkan dengan jelas apa motif sang pangeran melakukan itu semua. Namun pernyataan wakil perdana menteri sebelumnya telah mengarahkan pemikiran publik mengenai motif terkuatnya.
Pasca tragedi tersebut, rakyat yang kecewa melakukan aksi dimana-mana. Situasi menjadi tak terkendali dan kekacauan terjadi di beberapa tempat, sehingga sistem jam malam diberlakukan.
Kambing Hitam Tragedi 1 Juni 2001
Tidak terbukanya pihak istana atas tragedi tersebut, dan ganjilnya beberapa keterangan, membuat publik tidak meyakini hasil laporan resmi tim penyelidik istana. Banyak yang meyakini jika sang pangeran hanya menjadi kambing hitam atas sebuah konspirasi yang telah direncanakan secara matang. Kepribadian yang ditunjukkan oleh sang pangeran ke hadapan publik selama ini tidak menunjukkan suatu tanda adanya gejala psikopat yang diidap olehnya. Bahkan ia dikenal sebagai pribadi yang sopan, ramah, terpelajar— sangat pantas untuk menjadi penerus Raja Birendra. Wajahnya yang tenang serta pembawaannya yang santun membuat beberapa rakyat Nepal meyakini jika dia tidak dapat melakukan hal semacam itu. Malah kecurigaan sebagian publik terarah kepada Gyanendra yang sedang berada di Pokhara pada saat kejadian tersebut terjadi, untuk menghadiri pertemuan konferensi lingkungan.
Pernyataan resmi yang dikeluarkan Gyanendra pasca tragedi itu terjadi, yang menyatakan bahwa kejadian itu murni sebuah kecelakaan, dipertanyakan oleh beberapa kalangan karena tidak sesuai dengan hasil penyelidikan resmi. Namun belakangan Gyanendra menjawab bahwa ia mengeluarkan pernyataan tersebut atas nama konstitusi yang ada, sebab kekuatan hukum ada di bawah raja Nepal, sehingga meskipun Dipendra dinyatakan bersalah pada saat itu— selama ia hidup, maka ia akan kebal hukum. Itulah alasan Gyanendra atas pernyataannya tersebut.
Berbeda dengan seluruh anggota keluarga Raja Birendra yang sangat dicintai oleh rakyatnya, Gyanendra beserta keluarganya justru selama ini tidak mendapatkan simpati dari rakyat Nepal atas reputasi mereka yang buruk (baca juga: "Gyanendra dan Isu Kudeta"). Oleh sebab itu diangkatnya dia sebagai raja tidak diterima dengan baik oleh rakyat Nepal. Bahkan beberapa dari mereka semakin meyakini jika dia merupakan otak di balik tragedi tersebut demi menggulingkan takhta sang kakak.
Raja Gyanendra Bir Bikram Shah Dev, adik kandung sekaligus penerus Raja Birendra.
Gyanendra bukanlah satu-satunya orang yang dicurigai oleh beberapa rakyat Nepal yang tidak meyakini kebenaran dari keterangan pihak penyelidik istana. Sosok sang perdana menteri— Girija Prasad Koirala, menjadi salah satu orang yang dicurigai memiliki kepentingan di dalam tragedi tersebut. Ketika ia menghadiri upacara kremasi Raja Birendra, dirinya menjadi sasaran kebencian dari sebagian rakyat Nepal yang turut menghadiri acara sakral tersebut. Ratusan orang pengagum Raja Birendra naik ke atas pohon dan bangunan yang ada di sekitar tempat berlangsungnya upacara kremasi raja dan anggota keluarganya. Sebagian besar dari mereka berteriak, "Perdana Menteri harus mundur! Enyahlah dari negeri ini!"
Perdana Menteri Koirala diduga telah melakukan korupsi dan telah salah mengelola negara, sehingga pemberontak Maois berhasil menduduki beberapa daerah di Nepal.
Girija Prasad Koirala, mantan perdana menteri Nepal yang menjabat di kala tragedi 1 Juni 2001 terjadi.
Kejanggalan di atas sebuah "Kebenaran"
Keterangan pihak penyelidik memiliki berbagai kejanggalan yang dapat ditangkap oleh sebagian kalangan. Misalnya saja bagaimana mungkin Dipendra seorang diri mampu melakukan penembakan tersebut, di tengah-tengah penjagaan istana Narayanhiti yang terbilang kuat. Apalagi pada saat itu acara keluarga itu dihadiri oleh banyak tamu. Pihak istana mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata demi menghormati aturan yang ada. Para ajudan dan pengawal tidak diperbolehkan untuk ikut campur urusan dalam istana dan tidak boleh menembak anggota keluarga kerajaan, terlebih atas Dipendra yang merupakan anak seorang raja. Banyak yang menyayangkan hal tersebut jika itu memang benar adanya.
Kejanggalan juga terjadi pada tindakan pihak medis atas Dipendra. Pada tanggal 4 Juni 2001, dokter kerajaan yang biasa memeriksa Dipendra dilarang masuk oleh penjaga, sehingga ia digantikan oleh dokter yang lain. Dokter baru itu masuk dan memeriksa Dipendra, serta keluar dan menyatakan bahwa Dipendra telah tiada. Upacara kremasi Dipendra dinilai terlalu terburu-buru, lantaran tidak dilakukannya pemeriksaan post mortem pada jasadnya. Cara tersebut tentunya mampu menyembunyikan keadaan jasad sang putra mahkota, termasuk kebenaran di balik luka tembak yang dideritanya. Bahkan ada sebuah rumor yang mengatakan bahwa posisi luka yang dialami oleh Dipendra sangat mustahil untuk dianggap sebagai sebuah luka tembak yang dilakukan oleh diri sendiri, sehingga timbul kecurigaan bahwa sang pangeran tewas karena ditembak oleh orang lain.
Absennya Gyanendra di dalam acara keluarga di malam itu juga merupakan suatu kejanggalan. Tewasnya tiga orang penting di pesta tersebut sukses untuk mengantarkannya menduduki takhta kerajaan Nepal. Bahkan istrinya, Komal, serta kedua anaknya selamat dari tragedi tersebut. Komal dikabarkan menderita luka parah, sedangkan Pangeran Paras, putra Gyanendra, hanya mengalami luka ringan. Selama menjabat sebagai raja, ia meniadakan beberapa warisan dari masa pemerintahan kakaknya, termasuk negara monarki konstitusional yang telah dibentuk oleh Birendra sebagai bentuk kecintaannya kepada rakyatnya yang ingin merasakan rasanya berdemokrasi. Gyanendra meniadakan sistem tersebut, dan mengembalikan Nepal menjadi negara monarki absolut. Ia juga memecat perdana menteri, membubarkan parlemen dan membatasi kebebasan jurnalis. Ia memerintah sebagai seorang diktator yang semena-mena. Tidak heran jika di kemudian hari ada kecurigaan bahwa ia ingin merebut takhta dari tangan sang kakak demi kepentingan pribadinya.
Dari semua korban selamat di dalam peristiwa tersebut, tidak ada satupun yang berani menceritakan apa yang mereka alami pada saat itu. Semua korban selamat, termasuk Kumar Gorakh, adik ipar Dipendra, menyatakan bahwa keterangannya sama persis dengan hasil penyelidikan tersebut. Bahkan ketika diwawancarai beberapa media pun, tidak ada informasi tambahan yang ia sampaikan. Namun Ketaki Chester, sepupu Raja Birendra yang berhasil selamat dari kejadian tersebut, membeberkan kesaksiannya pada seorang jurnalis ( baca kesaksiannya di sini ). Ia mengarahkan keyakinannya mengenai motif Dipendra melakukan hal tersebut disebabkan karena ia sangat ingin menjadi seorang raja dan menunjukkannya melalui cara yang demikian. Ia juga yakin bahwa keponakannya tersebut tidak mabuk pada saat itu, sebab menurutnya terlihat jelas bahwa ia hanya berpura-pura. Banyak yang meragukan kebenaran kisah Chester, karena bagaimana mungkin Pangeran Dipendra tega menembak adiknya yang sedang mengandung dan memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Bukankah hal itu malah memupuskan dirinya dari takhta kerajaan dan malah mengantarkan sang paman menjadi seorang raja? Sangat tidak masuk akal menurut beberapa kalangan yang berpandangan skeptis atas kisah tersebut.
Vivek Kumar Shah, ajudan istana yang menjabat pada saat itu juga heran atas keputusan para penyelidik yang hanya terfokus pada apa yang terjadi pada saat itu saja, bukannya mencari tahu ada apa di balik itu semua. Shah bahkan mengaku telah bertanya pada Gyanendra apakah tidak perlu dilakukan penyelidikan atas motif dan apa saja yang ada di balik kejadian tersebut dan apakah hanya Dipendra seorang diri saja yang melakukannya tanpa adanya keterlibatan pihak lain. Shah juga mengatakan bahwa ia juga memberi saran pada Gyanendra untuk mendatangkan tim penyelidik dari luar karena kurang memadainya tenaga penyelidik yang mereka miliki. Namun nyatanya saran dan pertanyaan Shah tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Gyanendra dan pihak penyelidik pada masa itu (Baca selengkapnya kesaksian Shah di sini ).
Teori Konspirasi Populer atas Kasus Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal
Ragam teori konspirasi hadir dan mewarnai kisah di balik tragedi berdarah Nepal. Beberapa kalangan menilai jika teori-teori tersebut hanyalah sebagai bentuk suatu spekulasi semata. Namun toh spekulasi itu hadir dikarenakan pemikiran sebagian kalangan yang menilai bahwa ada beberapa hal yang berusaha ditutupi oleh pihak kerajaan Nepal. Bukan tanpa alasan mereka berpikir demikian, karena pada dasarnya terdapat beberapa kejanggalan di balik fakta-fakta yang telah diungkap (atau mungkin dibuat) oleh pihak istana.
Dari berbagai teori konspirasi yang ada, saya akan menghadirkan beberapa teori yang sangat populer di kalangan masyarakat luas berkenaan dengan tragedi 1 Juni 2001.
1) Gyanendra Merupakan Aktor Intelektual Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal
Teori ini sangat populer dan sepertinya menempati urutan teratas dari antara teori konspirasi yang ada. Ketidakhadiran Gyanendra pada malam itu menjadi sebuah kejanggalan dan menimbulkan tanda tanya besar, mengingat ia memiliki garis kekerabatan yang amat dekat dengan sang raja. Seluruh anggota keluarganya yang hadir pada acara itu selamat dari tragedi tersebut. Ia menggantikan sang kakak sebagai raja Nepal dan memerintah sebagai seorang pemimpin otoriter, dengan meniadakan beberapa kebijakan yang telah dibuat oleh Raja Birendra sebelumnya (alasannya demi menyelamatkan situasi Nepal yang kacau dan belum siap menjadi negara demokratis). Ia dan keluarganya juga dilaporkan menghambur-hamburkan uang istana demi membayar kepentingan pribadi mereka. Ada yang menduga jika ia sangat berambisi untuk mendapatkan harta dan kekuasaan, sehingga segala cara ia lakukan, termasuk menyingkirkan saudaranya sendiri dan beberapa kerabatnya.
(Baca juga : "Gyanendra dan Isu Kudeta" )
2) Keterlibatan CIA dan RAW
Salah satu petinggi partai komunis Maois menuding bahwa CIA (Central Intelligence Agency / dinas intelijen Amerika Serikat) dan RAW ( R&AW/Research and Analysis Wing / agensi spionase India ) ambil bagian sebagai "pemain utama" di dalam tragedi tersebut. Tudingan ini juga masuk akal, mengingat hubungan India dan Nepal sempat memanas akibat kebijakan yang diambil oleh Raja Birendra.
India seringkali dominan di dalam mengatur negara-negara tetangganya, seperti Pakistan, Nepal dan Bangladesh. Diduga bahwa kepentingan India tak mendapat dukungan dari monarki Nepal sehingga keruntuhannya adalah merupakan suatu keuntungan yang besar bagi India. Memang di dalam beberapa dekade sebelum peristiwa itu terjadi, Nepal yang ada di dalam pemerintahan Raja Birendra cenderung agak "nakal" dan "bermain-main" di belakang India untuk menunjukkan bahwa mereka ingin lebih mandiri. Bahkan dicurigai pula bahwa parlemen Nepal telah disusupi oleh para agen RAW pasca dibubarkannya monarki, demi mampu mengambil alih sistem pemerintahan negara yang sedang kacau tersebut. Faktanya, pasca pembubaran monarki dilakukan, negara itu justru mengalami berbagai permasalahan, seolah tak siap menyandang status barunya sebagai republik federal.
Saroj Raj Adhikary, di dalam sebuah buletin mingguan "Nepal Saptahik" menuliskan bahwa : " India melalui RAW menjadikan Terai sebagai sebuah medium untuk melayaninya di dalam kepentingan politik dan ekonomi Nepal. RAW telah aktif di Nepal dalam kurun waktu 40 tahun terakhir."
Terai merupakan suatu dataran di Nepal, dimana sebagian besar penghuninya merupakan warna negara India. Parlemen Nepal telah merundingkan rancangan undang-undang (RUU) mengenai isu pemberian kewarganegaraan tersebut dan telah diajukan kepada raja untuk menunggu pengesahannya. Alih-alih disahkan, Raja Birendra, malah mengajukan RUU itu kepada Mahkamah Agung untuk dipertimbangkan, dimana pihak Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan RUU tersebut. Vivek Kumar Shah mengatakan apabila seandainya hal tersebut mendapatkan persetujuan dari raja, maka justru akan menjadikan warga asli Nepal sebagai kaum minoritas yang menghuni negara Nepal di dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.
Jan Aastha— sebuah mingguan Nepal lainnya, menuliskan pula bahwa: "Mantan menteri dalam negeri Nepal, Khrisna Prasad Sitaula, merupakan seorang pria yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan intelijen India."
Raja Birendra pernah mengajukan proposal kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendeklarasikan zone of peace (Zona Perdamaian) Nepal, dimana hal tersebut mendapatkan dukungan dari 116 negara— termasuk Amerika, namun justru tidak mendapatkan persetujuan India.
Beberapa orang juga mencurigai bahwa perdana menteri Girija Prasad Koirala dan Devyani Rana— kekasih Pangeran Dipendra, merupakan kaki-tangan India (Baca juga: "Tragedi Asmara Putra Mahkota Nepal").
Pada malam dimana kejadian itu berlangsung, Devyani sedang berada di Dugad Niwas yang berada di dekat kedutaan besar India di Lajimpat. Ia menanyakan aktivitas Pangeran Dipendra melalui ajudannya, Raju Karki (Baca juga: "Tragedi Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal").
Pasca kejadian tersebut, di malam itu juga perdana menteri Girija Prasad Koirala menelpon perdana menteri India untuk memberitahu kabar kematian raja beserta keluarganya dari telepon di rumah sakit militer di Chhauni. Pada hari berikutnya, Devyani segera terbang ke India, dengan alasan untuk menghindari awak media, pada masa ketika perdana menteri Koirala menjadi perdana menteri yang berkuasa.
3) Dokter yang Menangani Dipendra
Pasca peristiwa 1 Juni, pangeran Dipendra diberitakan terbaring koma di rumah sakit selama 3 hari dengan sokongan peralatan medis. Selama itu pula ia diangkat sebagai raja. Harapan rakyat Nepal yang menginginkan dirinya untuk menggantikan Birendra pupus tatkala dia diberitakan tewas setelah 3 hari terbaring di ranjang rumah sakit tanpa pernah terbangun. Tentu saja harapan itu dibangun oleh orang-orang yang tidak (atau berusaha untuk tidak) mempercayai kabar mengenai kebrutalan sang pangeran. Tapi dari antara pemikiran mereka, lahir beberapa spekulasi yang cukup masuk akal dengan melihat beberapa kejanggalan yang terjadi pasca kasus tersebut. Salah satunya ketika pangeran Dipendra sedang dirawat di rumah sakit.
Menurut sebuah keterangan, pada hari ke-3 tidur panjang pangeran Dipendra, terjadi sebuah hal yang-- mungkin normal-- namun menjadi tak biasa karena terlahir dari situasi dimana rakyat tak mampu mendapatkan informasi secara transparan. Konon dokter istana yang biasa memeriksa Dipendra pada hari itu dilarang masuk oleh otoritas yang mengawal Dipendra, lalu ia diganti oleh dokter yang lain. Dokter lain itu masuk ke kamar Dipendra, lalu keluar dari kamar tersebut (menurut pengakuannya setelah sebelumnya melakukan beragam metode pemeriksaan) dan memastikan bahwa Dipendra telah tiada. Tentunya kecurigaan beberapa orang terpusat pula pada dokter tersebut.
Selain itu, setelah dinyatakan tewas, Dipendra segera buru-buru dikremasi tanpa pernah dilakukan pemeriksaan post mortem terlebih dahulu. Ini tentunya juga menimbulkan kecurigaan dan memunculkan spekulasi lain. Terlebih di saat muncul suatu pemberitaan yang mengatakan bahwa konon luka tembak di tubuh Dipendra (yang diberitakan selama ini disebabkan karena ia berusaha bunuh diri) adalah luka yang dibuat oleh orang lain, dimana sangat mustahil (bagi Dipendra) untuk menembak diri sendiri dengan posisi perlukaan yang seperti itu.
4) Para Pengawal Bersenjata di Istana
Sebuah spekulasi menyebutkan bahwa mungkin saja yang membantai keluarga kerajaan adalah pengawal istana, mengingat begitu bebasnya akses bagi mereka untuk membawa senjata di lingkungan istana.
5) Orang Bertopeng yang Berbusana Layaknya Pangeran Dipendra
Lal Bahadur Lamteri, mantan staf junior militer istana Narayanhiti, membuat sebuah pengakuan mengejutkan kepada koran berbahasa Nepal, "Naya Patrika". Ia mengaku bahwa ia menyaksikan sendiri kejadian berdarah yang terjadi pada tahun 2001 tersebut.
Apabila selama ini Pangeran Dipendra disebut-sebut sebagai biang kerok dibalik kejadian yang menewaskan raja dan ratu Nepal tersebut, pengakuan Lal Bahadur Lamteri Magar nampaknya mampu menepis anggapan tersebut. Pasalnya, ia menguraikan kronologi yang justru sangat berbeda dengan apa yang selama ini diterima oleh masyarakat luas berdasarkan hasil laporan resmi komisi penyelidik istana (Untuk kronologi resminya, lihat di sini).
Malam itu, ujar Lamteri, Pangeran Paras (anak Gyanendra, sepupu pangeran Dipendra) datang ditemani seseorang yang mengenakan busana militer yang mirip dengan yang digunakan oleh Dipendra. Orang misterius tersebut membawa senjata dan mengenakan topeng yang mirip dengan wajah Dipendra. Dipendra kala itu sedang berada di dalam kamarnya untuk beristirahat dan ada di dalam keadaan mabuk setelah menenggak minuman keras. Tiba-tiba pria tersebut menembak Dipendra hingga tewas. Enam peluru bersarang di punggung Dipendra dan satu di tangan kirinya. Setelah itu pria bersenjata tersebut berjalan ke arah sebuah ruangan, tempat dimana pesta rutin berkumpulnya anggota keluarga kerajaan diadakan. Pria tersebut menembak raja, ratu dan beberapa anggota keluarga kerajaan lainnya.
Jika selama ini yang gencar diberitakan adalah bahwa raja Birendra telah lebih dulu tewas di tempat, hal yang lain justru diungkapkan oleh Lamteri. Ia mengaku bahwa ia menemani raja Birendra yang terluka parah dan dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil. Kala itu, ujarnya, Raja Birendra masih hidup dan mengerang kesakitan.
Di kala tragedi itu terjadi, Lamteri menjabat sebagai halvadar militer Nepal. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahan ketika pangeran Dipendra selalu dijadikan sebagai kambing hitam di dalam peristiwa tersebut. Oleh sebab itu maka ia, dan beberapa temannya yang juga merupakan staf keamanan, akhirnya memutuskan untuk menuliskan surat tanpa nama ke istana. Surat tersebut berisi pengakuannya mengenai tragedi malam 1 Juni 2001 tersebut. Tiga bulan setelah itu, ia ditangkap oleh tentara. Matanya ditutup dan ia dibawa ke suatu tempat untuk ditahan. Selama sebulan ia ditahan, setelah itu ia dibebaskan. Namun setelah dibebaskan, ia justru malah ditangkap lagi dengan tuduhan telah membunuh seorang pebisnis selama ia berada di dalam masa tahanan. Kasus tersebut diduga hanyalah sebuah rekayasa yang dilakukan untuk membungkam Lamteri. Meski kebenaran dari keterangan Lamteri masih belum dapat dipastikan, namun beberapa orang yang menganggap Lamteri sebagai whistle blower tidak terima dan memprotes proses penahanan Lamteri.
Lamteri bukan satu-satunya orang yang mengaku melihat orang yang mengenakan topeng dan berpakaian seperti Dipendra pada malam naas itu. Sebuah buku berjudul "Raktakunda" juga mengisahkan cerita yang kurang lebih sama, namun dengan narasumber yang berbeda. Sang penulis mengatakan bahwa buku tersebut merupakan sebuah novel historis. Narasumbernya konon adalah seorang pelayan pribadi ibu suri Ratna yang ada di TKP pada saat kejadian itu terjadi, yang di dalam buku tersebut disebut "Shanta". Berdasarkan penuturan Shanta, pelaku penembakan pada malam itu adalah dua orang pria yang mengenakan topeng dan pakaian seperti pangeran Dipendra. Suami Shanta yang juga merupakan pegawai istana-- Trilochan Acharya, konon juga merupakan korban tewas di dalam kejadian tersebut.
Bahkan di dalam buku tersebut, Shanta mengungkapkan bahwa banyak hal yang disembunyikan oleh pihak istana, termasuk kasus kematian raja Mahendra (ayahanda raja Birendra), yang diklaim meninggal karena bunuh diri.
5) Tul Prasad Sherchan
"Sensasi" dan "kegilaan" mungkin adalah dua kata yang sering ditujukan bagi Tul Prasad Sherchan, seseorang yang menjadi pusat perhatian di Nepal pada tahun 2009 silam.
Delapan tahun pasca kasus pembantaian keluarga kerajaan Nepal, Tul Prasad Sherchan (59) mengklaim bahwa dirinya pernah menjabat sebagai kepala biro intelijen kerajaan yang mendalangi operasi rahasia. Ia juga mengeluarkan pernyataan sensasional dengan mengklaim dirinya sebagi seorang yang paling bertanggung jawab atas kasus pembantaian yang telah menewaskan keluarga raja Birendra itu.
Pria yang pernah mengenyam pendidikan di St. Xavier's School di Godavari ini mengungkapkan pada media TNN bahwa dirinya pernah ingin membunuh raja Birendra beserta keluarganya pada tahun 1975, karena pihak istana tak ingin mendengarkan peringatannya agar tidak mengalirkan dana yang datang dari donatur asing. Padahal ujarnya ia sudah pernah memperingatkan hal itu kepada pangeran Dhirendra, adik bungsu raja Birendra, di London pada tahun 1975, namun mereka tidak mengindahkannya karena menganggapnya sebagai ocehan orang sinting. Ia mengatakan bahwa itu merupakan upayanya untuk menyelamatkan negara.
Sherchan mengatakan bahwa dirinya sedang ada di dalam penjara tepat ketika tragedi pembantaian itu terjadi. Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya sempat menceritakan bahwa raja dan keluarganya akan dibunuh pada malam itu kepada para penghuni tahanan tempat ia dipenjarakan.
"Bukan raja Gyanendra ataupun India ataupun CIA yang ada di balik (kasus) pembantaian tersebut", ujar Sherchan.
"Saya (yang) telah merancangnya dan (saya) memiliki rekaman video untuk membuktikannya," ujar Sherchan mempertegas pernyataannya.
Sehari setelah pernyataan sensasionalnya dinyatakan kepada awak media, Sherchan menuju ke kantor TNN untuk melayani sebuah wawancara. Sepulangnya dari wawancara tersebut, Sherchan dihadang oleh polisi di kawasan Sundhara di ibukota dan segera ditahan.
Pengakuan Sherchan mungkin hanya dianggap sebagai bualan semata bagi sebagian besar orang. Namun pernyataannya yang nampak seolah membela beberapa pihak tentunya menimbulkan kecurigaan. Apakah pengakuan tersebut hanyalah sebuah sensasi belaka atau mungkin justru digunakan untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya? Entahlah.
6) Catatan Harian Mantan Ajudan Istana
Mantan sekretaris militer Nepal yang menjabat pada masa itu— Vivek Kumar Shah, menuliskan mengenai pengalaman dan pengamatannya selama mengabdi bagi keluarga kerajaan Nepal, terutama pada masa-masa empat tahun pengabdiannya sebagai sekretaris militer istana Narayanhiti. Buku yang berjudul "Maile Dekheko Darbar" ( "Istana dalam Pandangan Saya"— baca kutipannya di sini) tersebut juga menimbulkan kesan bahwa Shah mencurigai adanya permainan pihak luar di dalam tragedi 1 Juni 2001, meski di dalam setiap pernyataannya pada media televisi selalu ia memastikan bahwa Pangeran Dipendralah yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Buku setebal 599 halaman tersebut tak hanya mengangkat sisi lain Pangeran Dipendra dari sudut pandang Shah (Baca juga penuturannya di sini), namun juga kecurigaannya pada pihak asing yang terlibat atas kasus tersebut. Menurutnya isu penjualan senjata dan isu pemberian kewarganegaraan kepada penduduk dataran Terai, yang kebanyakan berasal dari India menjadi hal yang mungkin saja mendorong pihak asing untuk mengambil peran di dalam tragedi tersebut.
Shah mengungkapkan bahwa Raja Birendra, sebagai panglima tertinggi di dalam struktur militer monarki Nepal, bermaksud untuk memperbaharui alutsista militer Nepal dengan membeli senjata yang lebih canggih. Ia telah mencapai kesepakatan untuk membeli senjata buatan Jerman— Heckler and Koch G36. Bahkan direncanakan pula agar senjata jenis itu dapat dirakit di Nepal dan dijual ke wilayah Asia Selatan.
Rencana tersebut memang terdengar amat baik bagi Nepal. Namun hal itu justru tidak disukai oleh India, sebagaimana mereka selama ini menekan Nepal untuk membeli kelompok senapan serbu INSAS (Indian Small Arms System/ Sistem Senjata Ringan India), yang secara kualitas memang lebih rendah.
Shah berujar bahwa sebuah arsip rahasia pernah dilimpahkan raja padanya, dalam rangka Operasi Elang, dimana ia berisi rencana untuk menanggulangi pemberontakan kaum Maois.
Raja Birendra tengah bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan dengan mengadakan pertemuan dan berbicara langsung dengan aktivis gerakan bawah tanah Maois dan mengakui beberapa tuntutan mereka, serta membawa mereka untuk kembali ke arus politik. Untuk itulah ia telah mengirimkan adiknya, Pangeran Dhirendra, dan seorang pejabat senior milter sebagai utusannya untuk berdialog dengan petinggi partai Maois.
"Pada saat rencana serius semacam itu sedang dikembangkan untuk mengatasi krisis yang mencengkeram negara, pembantaian istana terjadi secara misterius," tulisnya di buku tersebut.
"Analisis dan kesimpulan saya adalah bahwa pihak dalam dan asing terlibat (di dalam kasus pembantaian 2001)."
Shah tidak menutup kemungkinan adanya kerjasama antara India dan Maois yang sama-sama menginginkan keruntuhan monarki Nepal. Menurutnya sangat tidak masuk akal apabila intelijen India tidak mengetahui adanya pertemuan antara India dan Maois. Bahkan India juga memfasilitasi pelatihan bagi para anggota Maois di Chakrata, yang berlokasi di negara bagian Uttarakhand, India. Menurutnya hal tersebut semakin terlihat nyata ketika Nepal juga mengirimkan tentaranya untuk menjalani latihan gabungan di tempat yang sama pasca berakhirnya monarki.
Shah mengaku di saat dirinya ingin mengadakan penyelidikan, Gyanendra menyuruhnya untuk mundur dari jabatannya atas tekanan dari India.
Selagi misteri masih ada, berbagai teori akan terus lahir dan mengisi tiap-tiap kepingan kosong yang ada di baliknya. Asmara ataukah konspirasi terencana— tentunya hal tersebut akan terus mewarnai kisah di balik tragedi pembantaian keluarga kerajaan Nepal. Anda dan saya sendiri tentu mempunyai pemikiran tersendiri mengenai kasus ini. Selagi ia masih belum terungkap, maka takkan salah jika pemikiran kita turut menjadi elemen dari kepingan yang coba kita susun untuk menerka kisah di balik kasus ini.
( Dari berbagai sumber )
Belum ada tanggapan untuk "ASMARA ATAUKAH KONSPIRASI TERENCANA ?— RAHASIA DI BALIK TRAGEDI NEPAL 2001"
Posting Komentar