Sebuah kerajaan ataupun negara memang tak terlepas dari berbagai permasalahan dengan beragam pencetus, baik itu melalui faktor internal maupun eksternal. Tidak terkecuali bagi kerajaan Nepal. Layaknya plot dari sebuah film, intrik dan konflik kepentingan kerap kali membumbui kisah dari perjalanan monarki Nepal, yang telah mengalami keruntuhan pada tahun 2008 (Lihat juga : "Gyanendra dan Isu Kudeta").
Peristiwa tewasnya raja Birendra dan beberapa anggota keluarga kerajaan Nepal pada tahun 2001 ternyata bukanlah satu-satunya tragedi memilukan yang terjadi di kerajaan yang berdiri di kaki pegunungan Himalaya itu. Pada kenyataannya, sudah banyak korban jiwa yang menjadi tumbal dari konflik yang berlatarkan kekuasaan, harta, kebencian maupun asmara di dalam rentetan peristiwa di dalam perjalanan waktu kerajaan Nepal dari masa ke masa. Sebagian besar raja yang menduduki takhta kerajaan Nepal, serta beberapa bangsawan Nepal mengalami kematian yang tidak wajar, sehingga tidak heran jika hal-hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa kerajaan tersebut mengalami sebuah kutukan (Lihat juga: "Keangkeran Istana Narayanhiti Hingga Ramalan Runtuhnya Kerajaan Nepal").
Dari berbagai tragedi berdarah yang mewarnai perjalanan kerajaan Nepal dari masa ke masa, nampaknya tragedi pembantaian Kot merupakan satu dari yang tak terlupakan dan masih menyisakan beragam spekulasi dari misteri-misteri yang ditimbulkannya. Tragedi tersebut memang berdampak besar bagi sejarah kerajaan Nepal, sebab selain menewaskan banyak korban jiwa, pembantaian tersebut juga turut mengantarkan klan Rana menduduki kekuasaan melampaui raja-raja Nepal yang berkuasa. Hegemoni klan Rana selama lebih dari satu abad merupakan salah satu peristiwa yang tidak terlupakan bagi rakyat Nepal. Namun siapa yang menyangka jika peristiwa yang berhasil membalikkan keadaan tersebut konon dilatarbelakangi oleh kisah cinta terlarang?
Kisah bermula pada tahun 1816. Garis takdir mengubah hidup Raja Rajendra Bikram Shah. Kematian ayahnya, raja Girvan Yuddha Bikram Shah Dev, membuat dirinya yang masih berusia 3 tahun mesti menduduki takhta kerajaan Nepal. Mengingat kondisinya yang masih berusia sangat belia untuk mengatur sebuah kerajaan, maka nenek tirinya, ratu Lalita Tripura Sundari Devi dan perdana menteri Bhimsen Thapa memegang pemerintahan secara de facto. Setelah ratu Lalita meninggal, kini giliran perdana menteri Thapa yang memegang pemerintahan. Selama itu ia membatasi gerak sang raja. Raja pun diisolasi di tempat kediamannya tanpa dibiarkan untuk meninggalkan istana tanpa seizinnya.
Pada tahun 1832, Rajendra telah cukup umur untuk mengatur sebuah pemerintahan. Di usianya yang ke-24 tahun, ia mencopot kewenangan Bhimsen Thapa dan keponakannya, Mathabar Singh, dari otoritas militer istana.
Rajendra memiliki dua orang istri, yaitu Samrajya Laxmi Devi dan
Rajya Laxmi Devi. Kedua ratu tersebut memberinya empat orang anak, yang masing-masing memiliki dua orang putra. Tak lama berselang setelah Rajendra mencopot hak kekuasaan perdana menteri, putra bungsu ratu Samrajya tewas. Rajendra pun menahan Bhimsen Thapa dengan tuduhan telah meracuni putranya.
Meski memangku jabatan sebagai seorang raja, Rajendra digambarkan sebagai pribadi yang lemah dan tak cakap di dalam memimpin ataupun mengambil keputusan. Yang mengindikasikan hal tersebut ialah bahwa ia selalu menjadikan ratunya sebagai pemimpin de facto kerajaan Nepal.
Ratu Samrajya memegang wewenang penuh sebagai seorang ratu yang berkuasa pada tahun 1839. Pemerintahan Samrajya harus berakhir dikarenakan ia tutup usia hanya berselang dua tahun setelah ia memegang pemerintahan. Ratu Laxmi memegang pemerintahan secara de facto menggantikan ratu Samrajya pada tahun 1841. Pada tahun 1843, raja Rajendra mengumumkan bahwa apapun keputusan ratu Laxmi akan menjadi sebuah perintah yang harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh putra mahkota sendiri. Kebijakan tersebut tentunya menimbulkan pro dan kontra, seiring mencuatnya beberapa faksi yang saling berupaya ingin menjatuhkan satu sama lain.
Ratu Rajya Laxmi Devi, istri kedua raja Rajendra yang ambisius. Konon dirinya merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan di Kot, Kathmandu tahun 1845.
Ratu Rajya Laxmi merupakan pribadi yang sangat ambisius. Ia sangat berhasrat untuk menempatkan putra sulungnya, Pangeran Ranendra, sebagai pewaris utama takhta kerajaan Nepal. Ia tidak ingin jika putra tirinya, Surendra, kelak memerintah sebagai seorang raja. Itulah sebabnya berbagai cara ia lakukan untuk memuluskan keinginannya itu.
Masuknya Jung Bahadur Rana ke Istana
Kisah lain datang dari seorang pemuda yang bernama Bir Narsingh Kunwar. Ia terlahir dari keturunan beberapa orang yang berpengaruh dari garis keturunan sang ibu. Kakek buyutnya dari pihak ayah merupakan seorang jenderal pimpinan militer yang terkenal akan kegagahannya di era pemerintahan raja Prithvi Narayan Shah, raja pertama Nepal. Selain itu neneknya dari pihak ibu merupakan putri dari Kaji Ranajit Pande, seorang yang berpengaruh di kalangan bangsawan Nepal. Sang ibu yang bermarga Pande tentunya membuat Bir Narsingh muda hidup dengan kemewahan. Di masa itu, keluarganya berjaya karena Bhimsen Thapa memegang pemerintahan sebagai perdana menteri yang berkuasa. Bhimsen merupakan paman dari ibunda Bir Narsingh.
Tampaknya kemujuran terus meliputi keluarga Bir Narsingh muda. Ayahnya, Bal Narsingh Kunwar, merupakan seorang yang tak diperhitungkan pada awalnya. Namun suatu ketika, satu peristiwa telah mengubah posisi roda takdirnya. Ia menyaksikan Sher Bahadur Shah membunuh saudara tirinya, Rana Bahadur Shah, di depan matanya. Secara spontan ia mengambil tindakan untuk membunuh Sher Bahadur Shah. Sher Bahadur tewas seketika. Atas keberaniannya, Bal Narsingh Kunwar mendapatkan kepercayaan dari pihak istana. Ia dihadiahi gelar bangsawan "Kaji" di depan namanya, serta menjadi satu-satunya orang yang diizinkan untuk membawa senjata di dalam lingkungan istana.
Paman Bir Narsingh dari pihak ibu merupakan perdana menteri pertama kerajaan Nepal, Mathabar Singh Thapa. Dari pamannya tersebut Bir Narsingh Kunwar mendapatkan nama baru : Jung Bahadur Kunwar.
Pada suatu hari, Jung Bahadur dibawa oleh pamannya yang merupakan perdana menteri yang berkuasa pada masa itu, Bhimsen Thapa, untuk masuk ke dalam lingkungan istana. Tak ada yang pernah menyangka, bahkan oleh Bhimsen sekalipun, bahwa keputusannya membawa Jung Bahadur ke istana akan membawa perubahan bagi kerajaan Nepal di masa depan.
Asmara Terlarang di Balik Takhta
Meski harus membagi cinta, hati raja Rajendra cenderung ke arah ratu mudanya, ratu Rajya Laxmi. Namun ternyata kasih sayang yang melimpah dari sang suami tak menjamin kesetiaan dari seorang ratu Rajya Laxmi Devi. Hatinya terpaut pada seorang pria gagah yang bernama Gagan Singh Bhandari (atau Gagan Singh Khawas), seorang pria yang terlahir dari kasta Chhetri.
Gagan mendapat kepercayaan dan perlakuan istimewa dari sang ratu. Sebenarnya ia tak cukup populer dibandingkan tokoh-tokoh lainnya dari kerajaan Nepal. Dari yang awalnya bukan siapa-siapa, Gagan menjelma menjadi sosok yang amat berpengaruh bagi kerajaan Nepal. Seringkali ratu memberikan kekuasaan yang lebih baginya, dan tidak jarang juga ia mendapatkan wewenang dan bertindak atas nama ratu. Meski begitu, Gagan tak lantas menjadi angkuh. Namun karena begitu jelasnya terlihat bahwa ada sesuatu di antara dirinya dan ratu, konon raja Rajendra dan keluarganya tidak menyukai Gagan Singh.
Kala itu posisi perdana menteri dipegang oleh Chautariya Fateh Jung Shah yang juga merupakan kerabat raja Rajendra. Namun ratu Rajya Laxmi menempatkan Gagan di posisi yang lebih tinggi dari Fateh Jung, dengan menjadikannya sebagai panglima jenderal. Perdana menteri Fateh Jung, Abhiman Singh dan Jung Bahadur Kunwar masing-masing hanya memegang dua resimen, sementara tujuh resimen di dalam militer kerajaan dikepalai oleh Gagan. Hal itu tentu menempatkan Gagan pula sebagai seseorang yang paling berkuasa dan berpengaruh di kerajaan, terutama di bidang militer. Dengan posisinya ia dapat melakukan kudeta militer apabila ia mau.
Puncak ketidakstabilan negara terjadi pada tahun 1845. Di kala itu raja Rajendra bertindak membentuk koalisi kementerian yang bertujuan untuk meredam situasi yang sedang bergolak. Fateh Jung ditunjuk oleh raja untuk mengepalai koalisi itu. Namun tetap saja, hal itu tidak mengubah posisi Gagan Singh untuk menjadi sosok yang paling berkuasa di balik bayang-bayang sang ratu hati.
Asmara Berlumur Darah
Malam hari tanggal 14 September 1846, Gagan Singh berada di tempat kediamannya. Dirinya kala itu sedang melakukan peribadatan di sebuah kuil di area rumahnya. Tanpa disadari olehnya, malam itu berbeda dari malam-malam sebelumnya, dimana roda kehidupannya akan berhenti berputar untuk selamanya. Seseorang menyerangnya dari belakang. Nyawanya tidak tertolong lagi, Gagan Singh Bhandari seketika tewas di tempat itu.
Kabar mengenai kematian Gagan akhirnya sampai ke telinga ratu Laxmi. Ratu yang dilanda duka seketika murka. Dirinya bersumpah untuk menemukan pelakunya dan segera menghukumnya. Malam itu juga, segera dipanggilnya Jung Bahadur Kunwar untuk menghadap.--[Sebuah sumber mengatakan jika yang dipanggil ratu pada malam itu adalah Abhiman Singh, bukannya Jung Bahadur. Kisah versi ini memang masuk akal, mengingat sepertinya Abhiman memegang jabatan panglima jenderal sepeninggal Gagan Singh, akan tetapi tidak sesuai dengan kisah bahwa anak buah Jung Bahadur yang telah menjaga sekeliling istana. Namun sebuah sumber mengatakan pula bahwa Jung Bahadur merupakan salah satu orang kepercayaan ratu yg menjanjikan jaminan takhta bagi putra kandung ratu Laxmi.]--
Dari beberapa sumber yang saya kumpulkan, ada dua kemungkinan mengenai alasan ratu segera memanggil Jung Bahadur. Alasan pertama, yaitu karena pada malam hari itu hanya pasukan milik Jung Bahadur yang terbilang agak lengkap. Alasan kedua yaitu kepercayaan ratu Laxmi padanya, dimana keduanya saling memendam kepentingan pribadi --[Ratu Laxmi ingin posisinya dan putranya tetap "aman/secure" di takhta dan istana dgn bantuan Jung Bahadur, sedangkan Jung Bahadur memiliki agenda tersendiri]--.
Ratu memerintahkan Jung Bahadur untuk mengumpulkan seluruh bangsawan dan pejabat istana untuk berkumpul di halaman istana Kot pada saat itu juga. Jung Bahadur segera memerintahkan anak buahnya untuk menjaga akses ke istana. Ia memerintahkan mereka untuk memperbolehkan siapapun untuk masuk, namun tidak mengizinkan siapapun untuk keluar dari area istana tanpa seizin ratu ataupun Jung Bahadur sendiri.
Bigul dibunyikan. Mereka yang mendengar suaranya segera berlarian tergopoh-gopoh menuju ke halaman istana Kot. Ketika itu hari sudah larut malam, sehingga orang-orang yang buru-buru pergi berkumpul itu tidak sempat membawa senjata --[Sebuah sumber menuliskan, kalaupun ada yang membawa senjata, maka Jung Bahadur dan anak buahnya yg bertugas menjaga akses akan segera menyitanya]--.
Istana Kot, atau yang sekarang dikenal sebagai Istana Hanuman Dhoka di ibukota Kathmandu. Dulunya merupakan kediaman resmi raja Nepal, sebelum akhirnya pindah ke istana Narayanhiti.
Abhiman Singh datang menjemput tiga resimen yang dimilikinya ke Kot. Orang-orang yang berkumpul di tempat itu terlihat sangat tegang dan saling mencurigai satu sama lainnya, mengingat seluruh klan yang berseteru berkumpul di tempat itu. Raja Rajendra dan ratu Laksmi hadir di tempat itu. Abhiman mengungkapkan kekhawatirannya kepada raja mengenai kemungkinan terjadinya pembantaian. Perdana menteri Fateh Jung belum datang. Itulah sebabnya Jung Bahadur mengirimkan adiknya, Bam Bahadur, untuk menjemput perdana menteri.
Ratu Laxmi Devi berdiri di hadapan seluruh hadirin pada malam itu. Dengan penuh amarah ia memandang siapapun yang hadir di situ. Hati ratu yang panas nampaknya sudah tak mampu dibendung lagi. Dengan lantang ia memerintahkan agar siapapun yang bertanggung jawab atas kematian Gagan harus dihukum. --[Sebuah sumber menuliskan bahwa ratu mengucapkan itu sambil melihat ke arah para jenderal militer, lalu Jung Bahadur memberikan isyarat tubuh kepada ratu yang seolah mengatakan bahwa Bir Keshar Pande adalah pelakunya]--.
Kecurigaan ratu jatuh pada keluarga Pande. Ia menuduh keluarga Pande sebagai pelakunya. Bir Keshar Pande merupakan pimpinan keluarga Pande yang juga adalah rival dari Gagan Singh. Tanpa ampun, ratu segera memerintahkan Abhiman Singh untuk mengeksekusi Bir Keshar. Keputusannya membuat suasana di tempat itu semakin mencekam dan menegangkan. Keluarga Pande tentu tidak terima dengan tuduhan itu. --[Ratu yang memerintahkan Abhiman sebagai eksekutor lebih menguatkan dugaan bahwa Abhiman merupakan pemegang jabatan menteri dalam negeri.]--
Abhiman merasa ragu dan enggan untuk menjalankan perintah dari ratu. Sebuah sumber menuliskan, keraguannya disebabkan karena ia tahu mengenai siapa pembunuh Gagan sebenarnya, dan tuduhan kepada Bir Keshar adalah salah alamat.
Abhiman yang merasa enggan melakukan eksekusi, segera memandang ke arah raja Rajendra dengan penuh keraguan. Rajendra mengatakan bahwa ia akan menginvestigasi kasus itu terlebih dahulu, lalu barulah setelahnya ia akan mengeksekusi pelakunya. Ia juga menegaskan bahwa ia akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan perdana menteri. Rajendra pergi ke residen kolonial Inggris terlebih dahulu, lalu ia segera menuju ke istana Narayanhiti untuk menemui perdana menteri Fateh Jung.
Di istana Narayanhiti, Rajendra melakukan pertemuan empat mata dengan Fateh Jung. Entah karena raja enggan menjelaskan situasi di Kot, ataukah Fateh Jang yang kurang paham dengan apa yang disampaikan raja, sehingga ia pergi ke istana Kot dengan pengawalan yang minim. Kehadirannya di istana Kot semakin memanaskan situasi. Resimen Jung Bahadur membuat perlindungan mengelilingi seputar istana.
Melihat keadaan yang semakin tidak bersahabat, Abhiman dan Fateh Jung berniat untuk menanggulangi masalah itu dengan cara menenangkan ratu terlebih dahulu. Akhirnya disepakati bahwa Fateh Jung dan Jung Bahadur yang akan bertugas menemui ratu untuk berbicara padanya dan menenangkan hatinya, sedangkan Abhiman diminta untuk tetap berada di tempat itu, mengingat bahwa ia tidak menjalankan titah sang ratu. Sepeninggal Jung Bahadur dan Fateh Jung, Abhiman berniat untuk memindahkan pasukannya ke istana Kot. Tapi sesampainya ia di gerbang istana, dirinya tidak diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan istana. Ia tetap bersikeras untuk pergi, namun tetap saja ia tidak mendapat izin --[Sebuah sumber mengatakan bahwa alasan Abhiman pergi ke luar adalah untuk pergi dari permasalahan setelah terjadi perdebatan panjang antara dirinya dan beberapa pihak mengenai keputusan mengeksekusi Bir Keshar Pande.]--. Emosi karena tidak diizinkan, akhirnya Abhiman melawan. Ia pun tewas di tempat itu dengan luka tusuk pada perutnya.
Sebuah sumber menuliskan jika Jung Bahadurlah yang telah membunuh Abhiman dengan cara menembak dadanya. Di situ juga disebutkan bahwa ketika di dalam keadaan sekarat sebelum tewas, Abhiman sempat berkata: "Junge (alias Jung Bahadur) merupakan pembunuh Gagan Singh". Sumber kedua mengatakan bahwa Abhiman dibunuh oleh penjaga gerbang, dan sesaat sebelum meninggal Abhiman sempat menuliskan huruf "J" di tembok istana dengan menggunakan darahnya, yang sepertinya mengacu kepada Jung Bahadur sebagai pelaku di balik tewasnya Gagan secara misterius.
Abhiman merupakan tumbal pertama dari pembantaian Kot. Setelah itu, situasi menjadi sangat tidak terkendali. Para loyalis Abhiman tidak terima akan hal itu. Tanpa bisa dicegah, masing-masing berduel ataupun membunuh siapa saja yang mereka inginkan. Pedang dan pisau, semua yang mampu menjadi senjata digunakan sebagai senjata andalan pada saat itu. Beberapa orang sempat menyelamatkan diri dengan cara memanjat atap ataupun tembok, serta ada pula yang kabur melalui saluran air. Suasananya begitu mencekam.
Jung Bahadur memanfaatkan situasi itu untuk mengeliminasi musuh-musuhnya ataupun yang dianggapnya sebagai saingan terkuatnya pada masa itu. Sebagai hasilnya, sebagian besar bangsawan keluarga Pande, Thapa dan Basnyat (Sirupali) tewas. Putra Abhiman, Sri Chautaria Khadga Bikram Shah (Khadga Babusaheb) juga turut menjadi korban. Setidaknya hampir 40 orang bangsawan Nepal mesti kehilangan nyawa di dalam pertempuran ini, belum termasuk dengan para pengikut setia mereka yang juga turut menjadi korban. Abhiman Singh dan perdana menteri Fateh Jang turut ada di dalam daftar para korban tewas.
Pasca Kerusuhan Kot
Tewasnya orang-orang kepercayaan raja membuat Jung Bahadur berada di atas angin. Ia segera mengangkat dirinya sendiri menjadi perdana menteri dan menempatkan keluarga dan orang-orang kepercayaannya di dalam posisi strategis di dalam struktur kepemimpinan kerajaan Nepal. Raja merasa terhina akan hal itu, ditambah lagi pengawal setianya telah dieksekusi oleh Jung Bahadur. Ratu yang tadinya sepertinya begitu mempercayai Jung Bahadur menjadi tidak menghormatinya lagi. Ia merasa khawatir dengan posisinya dan putranya di istana. Secara diam-diam, ia menyusun sebuah rencana pemberontakan untuk menumbangkan Jung Bahadur. Rencana itu dinamakan Konspirasi Basnyat, sebab sebagian besar partisipannya terdiri dari anggota keluarga Basnyat. Operasi Basnyat pun dilaksanakan untuk membunuh Jung Bahadur. Namun naas, operasi tersebut terbongkar lantaran pengkhianatan yang dilakukan oleh Bijayraj Pandit. Para Basnyat dieksekusi di dalam suatu tragedi yang disebut Bhandarkhal Parva, yang mengambil tempat dimana seharusnya mereka mengeksekusi Jung. Jung pun menganggap bahwa ratu berbahaya baginya, sehingga ia hendak menyingkirkannya. Di hadapan para pemuka agama, Jung menuduh ratu telah melakukan suatu upaya untuk membunuh putra mahkota Surendra, serta adiknya— Pangeran Upendra.
Ratu Laxmi dinyatakan bersalah karena upaya pembunuhan yang hendak dilakukannya kepada kedua anak tirinya, demi mengangkat putra sulungnya, Pangeran Ranendra. Sebagai hukumannya hak kekuasaan ratu dicabut, serta ia dan kedua putranya diasingkan ke Varanasi, India. Raja Rajendra memutuskan untuk ikut bersama Laxmi dan kedua putranya. Selama raja diasingkan, Jung Bahadur mengangkat putra mahkota Surendra sebagai pangeran yang memerintah secara de jure.
Perjuangan di Tanah Pengasingan
Raja Rajendra ternyata tidak tinggal diam begitu saja. Di pengasingannya ia menyusun sebuah rencana untuk merebut kembali kekuasaannya yang telah dirampas oleh Jung Bahadur. Ia menggerakkan pasukannya untuk menjalankan rencananya. Ternyata operasi yang dilakukan raja terungkap, dan kamp milik pasukan raja di Alau diserang oleh pasukan Jung Bahadur. Pada tahun 1847, Jung berhasil menangkap raja yang hendak kabur. Ia menahan raja di Bakthapur, dan memaksa raja untuk menyerahkan takhtanya kepada putra sulungnya, Rajendra.
Rajendra dibawa ke istana Bhaktapur, namun setelah itu ia diizinkan untuk menghuni istana Hanuman Dhoka. Seumur hidupnya Rajendra dijadikan tahanan oleh Jung Bahadur di istananya. Jung memperketat perizinan bagi Rajendra. Tidak sembarang orang diperbolehkan untuk menemuinya. Jung berusaha untuk memutus hubungan Rajendra dengan orang luar, takutnya ia akan berkonsultasi dengan mereka dan memberontak kembali. Pangeran Upendra tidak diperbolehkan menjenguk Rajendra tanpa seizin menteri. Raja Surendra pun diperbolehkan untuk menjenguk ayahnya hanya sekali dalam jangka waktu satu bulan.
Seumur hidupnya ratu Laxmi Devi berada di dalam pembuangan bersama kedua putranya. Mungkin penyesalan yang dirasakannya begitu besar. Segala impiannya mesti pupus demi cinta. Demi cinta di hidupnya, ia harus menanggung konsekuensi menumbalkan banyak jiwa, kekuasaan, takhta dan pula kebahagiaannya.
1) Pada tahun 1858, Raja Surendra menganugerahkan gelar kehormatan "Rana" kepada Jung Bahadur Kunwar. Gelar tersebut biasa diberikan kepada para pangeran Rajput, India. Jung Bahadur Kunwar sekarang lebih dikenal secara global sebagai Jung Bahadur Rana. Seluruh keturunannya juga menyandang nama klan tersebut (Versi wikipedia).
Sebuah sumber menyebutkan bahwa justru nama Kunwarlah yang merupakan gelar. Di dalam situs tersebut dikatakan bahwa orang Nepal banyak yg salah paham dengan nama Kunwar yg dimiliki Jung Bahadur sebagai nama keluarga. Justru klan asli Jung Bahadur adalah Rana dan Kunwar merupakan gelar pangeran Rajput India, sebagaimana Jung memang memiliki darah keturunan Rajput. Disebutkan pula bahwa ia sengaja mengaitkan silsilahnya dengan bangsawan Rajput sebelum ia meminangkan putri raja Surendra untuk putranya, demi menyetarakan status klannya dengan klan "Shah" milik sang raja.
Berkat Jung Bahadur, klan Rana memegang pemerintahan Nepal dan menjadikan raja-raja Nepal menjadi raja boneka selama lebih dari satu abad. Meski sering digambarkan sebagai pemerintah yang otoriter dan kejam, namun berbagai perubahan Nepal ke arah modernitas terasa nyata di kala Jung Bahadur memimpin, diantaranya menyediakan akses pendidikan bagi publik, penghapusan sistem perbudakan, serta melarang adanya praktik sati di kalangan masyarakat.
2) Sumber lain menyebutkan bahwa sudah menjadi rahasia umum pada saat itu, bahwa Jung adalah pelakunya. Bahkan Jung membunuh sang paman, Mathbar Singh Thapa, yg telah mengeluarkan pernyataan umum yang menuding bahwa Jung adalah pembunuh Gagan Singh.
3) Dalam Konspirasi Basnyat, ratu dibantu oleh putra Gagan Singh, Bajir Singh. Taman kerajaan Bhandarkhal sejatinya merupakan tempat untuk mengeksekusi Jung, dimana Bijayraj Pandit ditugaskan untuk memancing Jung ke tempat itu. Namun Bijayray berkhianat dengan mengungkapkan Konspirasi Basnyat kpd Jung, shgga Jung telah bersiap di tempat itu dengan pasukannya, yg berujung pembantaian Bhandarkal, yg menewaskan banyak anggota klan aristrokrat Basnyat.
4) Ada beberapa kondisi di dalam kisah yang dituturkan mengenai kejadian sebenarnya dari pembantaian Kot yang menurut saya agak ganjil dan mengarahkan kepada suatu konspirasi dari satu atau lebih pihak sebagai penyebabnya. Itulah sebabnya saya membuat postingan ini sebagai hasil kesimpulan dari berbagai sumber (Bahkan wikipedia sekalipun memuat beberapa versi berbeda), untuk menyajikan informasi yang lengkap bagi Anda, sehingga Anda dapat menilai sendiri kisah ini.
Referensi: Wikipedia English-Kot massacre; country-data.com ; gambar "Kot massacre" merupakan lukisan karya seniman Nepal, Hari Prasad Sharma, dari situs ini.m
Belum ada tanggapan untuk "PEMBANTAIAN KOT— TUMBAL JIWA DEMI SANG KEKASIH GELAP"
Posting Komentar