Cari Blog Ini

GYANENDRA DAN ISU KUDETA

(Artikel ini masih berkaitan dengan "Tragedi Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal")


Kasus pembantaian keluarga kerajaan Nepal hingga kini masih menjadi sebuah misteri yang masih belum terungkap. Meskipun pihak istana telah melakukan penyelidikan dan mengumumkan kronologi peristiwa tersebut secara resmi, namun nampaknya sangat sulit bagi masyarakat luas untuk menerimanya sebagai suatu kebenaran. Tudingan beberapa pihak yang menyatakan bahwa Pangeran Dipendra sebagai pelaku tunggal pembantaian tersebut dianggap hanya sebagai suatu tipuan yang sengaja dihembuskan demi kepentingan beberapa pihak. Bagi yang skeptis atas pernyataan tersebut, ada beberapa pihak yang mampu dipersalahkan dan sengaja bersembunyi di balik kabar kebrutalan sang putra mahkota. Dari antara teori konspirasi yang ada, yang paling terkenal ialah kabar bahwa Gyanendra, paman dari Pangeran Dipendra sendirilah yang menjadi aktor intelektual yang bersembunyi di balik kisah mengamuknya sang keponakan lantaran cintanya tak kunjung mendapat restu orangtua. Gyanendra dikabarkan melakukan upaya penggulingan kekuasaan demi memenuhi ambisinya sebagai seorang raja yang otoriter. Dengan berakhirnya masa pemerintahan sang kakak dan tewasnya kedua keponakannya, maka jalan Gyanendra menuju takhta kerajaan Nepal menjadi terbuka lebar. Nyatanya, seluruh anggota keluarga Raja Birendra tewas di dalam tragedi tersebut, dan hanya menyisakan dua cucu perempuan sang raja yang tidak mungkin menjadi seorang raja. Sebaliknya, keluarga Gyanendra semuanya selamat dan tak ada yang menjadi korban. Gyanendra sendiri pada saat kejadian sedang berada di istana musim dingin di Pokhara. Sedangkan kedua anak dan istrinya yang hadir pada saat peristiwa tersebut semuanya selamat. Tidak heran jika kecurigaan beberapa orang tertuju padanya. Di kala Pangeran Dipendra dilaporkan sedang berjuang di antara batas hidup dan matinya di ranjang rumah sakit dan dinobatkan sebagai raja de jure Nepal, Gyanendra ditunjuk sebagai pemegang pemerintahan karena kondisi sang keponakan yang tidak memungkinkan untuk memerintah negara. Namun tiga hari kemudian, setelah Dipendra menghembuskan nafas terakhirnya tanpa sempat tersadar dari komanya, Gyanendra dinobatkan sebagai raja Nepal ke-12.



Raja Gyanendra
Gyanendra Bir Bikram Shah Dev mengenakan busana kebesaran raja Nepal.


Duduknya Gyanendra di takhta raja selepas tragedi 1 Juni sebetulnya bukan kali pertama baginya. Ketika masih berusia tiga tahun, demi sebuah plot politik, ia pernah menjabat sebagai raja boneka Nepal di tengah kondisi negara yang sedang kacau karena konflik internal dan eksternal. Bukan hanya diangkat sebagai seorang raja saja, bahkan namanya turut diabadikan pula pada uang koin yang kala itu beredar di Nepal sebagai pemegang takhta kerajaan Nepal.



Raja Kecil di Tengah Kekacauan Negara


Pada tahun 1947, Putra Mahkota Mahendra sedang menanti kelahiran anak keempatnya. Menjelang persalinan sang istri, peramal istana meminta agar Mahendra tidak boleh melihat wajah sang anak yang lahir kelak, karena dipercaya akan dapat membawa dampak buruk baginya. Takut tertimpa nasib sial, Mahendra segera menyerahkan sang jabang bayi yang baru lahir kepada neneknya. Tanpa pernah melihat wajah sang putra, Mahendra menamakannya Gyanendra. Gyanendra tinggal dan dibesarkan oleh neneknya di luar kota Kathmandu.


Tiga tahun setelah kelahiran Gyanendra, keadaan negara Nepal sedang kacau balau. Selama berabad-abad, pasca pecahnya Perang Kot, Klan Rana memerintah negara secara "de facto" sebagai perdana menteri turun-temurun. Di dalam pemerintahannya, klan Rana memerintah secara tiran dan semena-mena. Mereka menekan dinasti Shah, klan raja-raja Nepal, sehingga kekuasaan mereka lebih besar daripada sang raja itu sendiri. Kala itu raja di Nepal hanyalah simbol negara, sementara kekuasaan atas pemerintahan ada di tangan perdana menteri.


Pecahnya Perang Dunia I dimanfaatkan oleh perdana menteri yang berkuasa pada masa itu-- Maharaja Sri Chandra Shamser Jang Bahadur Rana, untuk bersekutu dengan Inggris demi menggalang sokongan kekuasaan. Inggris telah berhasil menguasai India bagian selatan kala itu. Raja Nepal yang menjabat pada saat itu, Raja Tribuvhan, lebih memilih untuk berteman dengan India. Di kala Tribuvhan muda memerintah negeri, Perdana Menteri Rana selalu memanfaatkannya sebagai boneka untuk memenuhi keinginannya, termasuk mengirimkan pasukan Nepal ke medan perang untuk membantu Inggris.



Beberapa tahun kemudian, Raja Tribuvhan sempat mendukung gerakan-gerakan yang ingin menumbangkan hegemoni klan Rana sebagai perdana menteri yang berkuasa. Namun upaya sang raja dan para aktivis tersebut dihalangi oleh perdana menteri dengan keras, sehingga gerakan-gerakan semacam itu sangat diharamkan pada masa itu. Setelah itu hubungan klan Rana dan klan Shah semakin memburuk. Di tahun-tahun itu Raja Tribuvhan khawatir akan keselamatan dirinya dan anggota keluarganya di tengah-tengah situasi politik yang semakin kotor dan memanas. Kekhawatiran sang raja bukan tanpa alasan, pasalnya beberapa pendahulunya juga meninggal karena alasan yang tidak wajar. Bahkan konon, sang kakek moyang yang merupakan pendiri kerajaan Nepal tewas akibat diracun. Oleh karena itulah ia memboyong beberapa anggota keluarganya secara diam-diam untuk pergi mengungsi ke India. Ia juga membawa serta putra mahkota Mahendra dan cucu lelaki tertuanya yang kelak menjadi raja-- Pangeran Birendra. Keluarga raja Nepal yang tiba di India disambut dengan hangat oleh beberapa pejabat India dan perdana menteri India pada saat itu, Jawahar Lal Nehru.


Raja Tribuvhan dan Jawarhal Lal Nehru




Kaburnya Tribuvhan dan keluarganya membuat Perdana Menteri Mohan Shamser Jang Bahadur Rana berang, pasalnya hal itu ada di luar perkiraannya. Ia segera mengadakan rapat kabinet terbatas untuk menentukan langkah selanjutnya pada tanggal 7 November 1950. Mereka ingat bahwa ada satu orang anggota keluarga kerajaan Nepal yang tidak dibawa lari ke India. Ialah Gyanendra kecil, yang kala itu masih berusia tiga tahun. Gyanendra merupakan satu-satunya laki-laki dari anggota inti keluarga raja yang tidak turut dibawa serta untuk mengungsi.




Sebuah plot politik disusun oleh Perdana Menteri Rana dan sekutunya di dalam rapat terbatas itu. Untuk mengisi kosongnya takhta kerajaan, maka mereka segera menjemput Gyanendra kecil dan membawanya ke Kathmandu untuk dinobatkan sebagai raja. Namun kemarahan rakyat tak dapat dibendung karena hal itu. Dengan semakin berjalannya waktu, rakyat yang marah melakukan berbagai cara untuk menekan pemerintahan Perdana Menteri Rana. Di lain pihak, India yang ada di pihak Tribuvhan juga turut menekan Perdana Menteri Rana. Raja Tribuvhan dan kongres Nepal mengadakan sebuah negosiasi. Pada tanggal 22 November, Jawahar Lal Nehru menyatakan bahwa India tidak mengakui Gyanendra sebagai raja Nepal yang sah. Tidak diakuinya kedaulatan Gyanendra sebagai raja Nepal membuat posisi Mohan Shamser menjadi semakin tertekan. Melihat situasi yang semakin ada di luar kendalinya, maka Perdana Menteri Rana mengutus saudara ipar raja yang berasal dari klan Rana-- Sir Kaiser Shamsher Jang Bahadur Rana dan Bijayas Jang Bahadur Rana, untuk mengadaikan negosiasi damai dengan Raja Tribuvhan di ibu kota India, New Delhi.




Negosiasi damai tersebut menghasilkan beberapa butir kesepakatan, di antaranya kembali dianggapnya pemerintahan raja Shah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan yang mengatur pemerintahan monarki Nepal.


Tibanya Raja Tribuvhan beserta keluarganya dan para pimpinan Partai Kongres Nepal pada tanggal 18 Februari 1951 di Nepal, menandai detik-detik berakhirnya hegemoni klan Rana yang telah berdiri selama berabad-abad. Bukan hanya mengambil kekuasaan sebagai seorang raja, Tribuvhan juga mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki yang demokratis. Meski mencabut kekuasaan Klan Rana, Tribuvhan tetap menjadikan Mohan Shamser sebagai perdana menteri selama beberapa bulan. Raja Tribuvhan menjadi salah satu raja Nepal yang dikenang sepanjang masa. Namanya juga diabadikan sebagai nama bandar udara internasional dan sebuah universitas terkemuka di Nepal. Sayangnya, kematian beliau juga terbilang cukup misterius, sama seperti beberapa pendahulunya.


Raja Tribuvhan
Raja Tribuvhan.



Sering Dibandingkan dengan Sang Kakak


penobatan Gyanendra
Upacara pengukuhan Gyanendra sebagai raja. Tampak Gyanendra sedang mengenakan mahkota penobatan.



Sosok Gyanendra dan keluarganya yang kurang populer seringkali dibandingkan oleh rakyat Nepal dengan keluarga Raja Dipendra, terutama selepas dinobatkannya Gyanendra sebagai Raja Nepal. Raja Birendra merupakan seorang raja yang selalu berbicara dengan lemah lembut dan jauh dari sosok raja yang keras. Ia juga menjadi pelopor lahirnya demokrasi rakyat Nepal. Pemerintahan Raja Tribuvhan pasca berakhirnya hegemoni klan Rana memang menjadi cikal-bakal lahirnya demokrasi. Namun penerusnya yang juga merupakan ayah Birendra, Raja Mahendra, memilih jalan lain dengan mengukuhkan kerajaan Nepal sebagai monarki absolut. Raja Birendra nampaknya tidak ingin meneruskan warisan ayahnya tersebut. Ia lebih menyukai Nepal dijadikan sebagai negara monarki konstitusi, dimana ia mendukung lahirnya beberapa partai agar rakyatnya dapat merasakan bagaimana rasanya berdemokrasi. Raja Birendra juga dikenal sebagai raja yang merakyat. Ia sering pergi ke pelosok Nepal dengan mengendarai helikopter sendiri dan bertatap muka langsung dengan rakyat untuk mendengar keluhan dan aspirasi mereka. Keputusannya untuk menikahi istrinya dianggap sebagai suatu langkah yang mampu memperbaiki hubungan klan Shah dan Rana, mengingat Ratu Aishwarya terlahir dari keluarga Rana. Kedua adik Birendra pun turut mengikuti langkah yang sama, termasuk Gyanendra yang menikahi Putri Komal yang merupakan adik kandung Ratu Aishwarya.



Keputusan Raja Birendra di dalam mengubah sistem kedaulatan penuh mendapat pertentangan dari berbagai pihak, termasuk dari istrinya dan adiknya, Gyanendra. Namun Raja Birendra tetap kukuh pada keputusannya untuk memberikan kebebasan berdemokrasi kepada rakyatnya. Tahun 1990 Nepal berubah menjadi monarki konstitusional. Meski begitu, raja tetap memegang kekuasaan tertinggi guna mengawasi sistem demokrasi agar lebih terarah. Pemilu pertama Nepal diadakan. Berbagai isu menyebutkan bahwa Raja Birendra berat sebelah dan hanya mendukung pihak tertentu. Namun ternyata dengan berjalannya waktu, terbukti bahwa rumor itu tidak benar. Raja menunjukkan dengan jelas melalui berbagai kesempatan bahwa ia tidak mengintervensi jalannya pemilu demi terpilihnya satu pihak. Ia justru akan mengadakan pemilu ulang jika yang terpilih itu terindikasi curang dan menimbulkan perpecahan. Langkahnya ternyata tepat. Rakyat puas dengan kinerjanya. Namun di tengah kepuasan rakyat, terdapat pula pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi demokrasi untuk memaksakan kehendak. Muncul kaum Maois, sebuah partai komunis yang ingin meniadakan monarki Nepal dan menjadikan Nepal sebagai negara satu partai. Namun hati raja yang lembut ini kembali diuji sekali lagi. Ia tidak ingin mengirim tentara untuk melawan kaum Maois yang semakin hari semakin anarkis. Ia malah mengirimkan pasukan polisi, yang secara notabene tidak dapat meredam kaum Maois. Alasan sang raja ialah ia tidak ingin menyakiti rakyat Nepal, sebab pada dasarnya kaum Maois juga merupakan rakyat Nepal. Namun kelembutan hati sang raja tidak lantas menggugah emosi massa pendukung Maois. Mereka justru menjadi semakin anarkis, sehingga jatuh korban sebanyak kurang lebih 2000 jiwa.



Di lain pihak, Gyanendra justru lebih setuju jika kaum Maois langsung digempur oleh pasukan tentara . Namun keinginannya tidak dapat terpenuhi kala itu, sebab keputusan ada di tangan sang kakak yang kala itu menjadi raja.

Sepeninggalnya sang kakak, Gyanendra menjadi pejabat pemerintahan sementara ketika sang keponakan, Dipendra, ada di dalam keadaan koma. Ketika Dipendra dinyatakan meninggal, ia memegang kekuasaan sepenuhnya sebagai seorang raja. Rakyat curiga pada dirinya yang tidak hadir pada saat tragedi itu terjadi. Bahkan kedua anak dan istrinya yang hadir pada saat peristiwa itu terjadi, ada di antara daftar korban yang selamat. Pangeran Paras, putra sulung Gyanendra juga turut dicurigai. Pasalnya ia hanya menderita luka ringan di dalam tragedi tersebut. Ia juga merupakan orang yang terakhir menemui Dipendra sebelum ia dikabarkan menembak dengan membabi buta. Hasil kronologi resmi menyatakan jika Paras yang menyampaikan cerutu berisi ganja pesanan Dipendra ( lihat kronologinya di sini ). Bahkan beberapa sumber mengatakan jika selama beberapa bulan sebelum kejadian, Paras sangat sering mendekati Dipendra dan membawanya ke klub-klub malam ternama di Nepal untuk bersenang-senang. Namun pangeran yang terkenal playboy dan bandel itu membantah segala tudingan itu (lihat bantahan Paras di sini). Reputasi Paras yang buruk juga semakin tercoreng ketika ia diduga terlibat di dalam kasus pembunuhan seorang penyanyi Nepal. Namun pada saat itu ia dapat lolos dari jeratan hukum karena konstitusi Nepal menyatakan bahwa posisi keluarga kerajaan lebih tinggi daripada undang-undang. Namun kenakalannya kembali terulang ketika pada tahun 2014, pasca berakhirnya era monarki Nepal, ia ditangkap di Thailand karena kasus kepemilikan ganja, dan itu untuk yang kedua kalinya karena kasus yang sama.



Pangeran Paras
Pangeran Paras.



Ratu Komal, istri Gyanendra, dikabarkan terluka parah di dalam insiden 1 Juni tersebut. Namun lama-kelamaan kondisinya dikabarkan membaik dan pulih. Hal ini juga menimbulkan kecurigaan tersendiri, terutama bagi kalangan yang mencurigai adanya konspirasi di balik kejadian tersebut.


Gaya kepemimpinan Gyanendra seringkali dibanding-bandingkan dengan pendahulunya, terutama dengan sang kakak, Birendra. Ia cenderung lebih keras dan otoriter. Di kala sang kakak berjuang membangun tonggak demokrasi, ia justru memupuskan warisan sang kakak dengan mengubah Nepal menjadi negara monarki absolut kembali. Kebijakannya justru dianggap kuno. Mungkin karena rakyat masih terbiasa dengan kebebasan yang ada. Siapapun yang menentang tak akan mendapat ampun. Ia juga membatasi kebebasan media dan memenjarakan beberapa jurnalis. Ia semakin tidak populer ketika membubarkan parlemen, memecat perdana menteri dan mengambil alih pemerintahan secara sewenang-wenang. Siapapun yang dicurigai tak sepaham dengannya, akan segera dipenjarakan dan dihukum olehnya. Tindakannya justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dunia dan para pejuang hak asasi mengecam keras aksinya. Dampaknya, negara-negara sahabat seperti Amerika, Uni Eropa dan India menangguhkan bantuan militer kepada Nepal.


Berbagai aksi di jalan diadakan oleh rakyat yang bersinergi dengan kaum Maois, demi menuntut dibubarkannya sistem monarki. Namun kekerasan hati Gyanendra ternyata tak mampu membuatnya tetap bertahan menjadi seorang raja Nepal. Terbukti, setelah revolusi 2006, ia dipaksa untuk menyerahkan takhtanya dan diusir keluar dari istana Narayanhiti. Bahkan terdapat laporan yang menyatakan jika ia dan keluarganya kerap menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi. Setelah diberi waktu 15 hari untuk mengosongkan Istana Narayanhiti, atas pertimbangan parlemen yang berkuasa pada masa itu (yang sebagian besarnya terdiri dari elit partai Maois), Gyanendra dan keluarganya diperbolehkan tinggal sementara di Istana musim panas Nagarjuna, sebelum akhirnya memperoleh tempat tinggal yang permanen. Keputusan parlemen menetapkan bahwa aset-aset kerajaan Nepal ditetapkan sebagai museum publik. Keluarnya Gyanendra dan keluarganya dari Istana Narayanhity menandai akhir dari kerajaan yang telah berdiri selama berabad-abad itu.


Bendera dan lagu kebangsaan Nepal memang telah digantikan dengan yang baru. Namun rumor yang menyebutkan tentang adanya keterlibatan Gyanendra di dalam tragedi 1 Juni 2001 masih akan terus ada, selama misteri itu masih belum dapat terjawab.


Nagarjuna
Istana Nagarjuna, tempat kediaman sementara Gyanendra dan keluarganya pasca diusir dari Istana Narayanhiti.



( Dari berbagai sumber )

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "GYANENDRA DAN ISU KUDETA"

Posting Komentar